Upacara Tiwah, Ritual Adat Suku Dayak, Kalimantan Tengah

 
Upacara Tiwah sendiri merupakan upacara sakral terbesar dalam Suku Dayak. Hal ini dikarenakan upacara Tiwah melibatkan sumber daya yang banyak, dana yang besar dan waktu yang cukup lama.

Sumber Foto: Pariwisata Indonesia

IPHEDIA.com - Upacara Tiwah atau Tiwah Lale atau Magah Salumpuk Liau Uluh Matei merupakan ritual kematian tingkat terakhir bagi para penganut Hindu Kaharingan, kepercayaan asli Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, sebagai tanda bakti kepada luhur mereka. 

Tujuan diadakannya upacara ini untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju, yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke tujuh.

Bagi Suku Dayak, kematian perlu disempurnakan dengan ritual lanjutan agar roh dapat hidup tenteram bersama Ranying Hatalla. Upacara Tiwah sendiri merupakan upacara sakral terbesar dalam Suku Dayak. Hal ini dikarenakan upacara Tiwah melibatkan sumber daya yang banyak, dana yang besar dan waktu yang cukup lama.

Selain untuk mengantarkan jiwa atau roh yang telah meninggal dunia, Tiwah bertujuan untuk melepas kesialan bagi keluarga yang ditinggalkan. Upacara ini juga bisa melepas ikatan status janda atau duda dari pasangan yang ditinggalkan, sehingga mereka dapat menentukan apakah akan mencari pasangan hidup lagi atau tidak akan menikah selamanya.

Keluarga atau kelompok masyarakat yang ingin melaksanakan upacara Tiwah harus membuat sejumlah keperluan pendukung dan beberapa hewan kurban. Oleh karena itu, prosesi pengantaran ini tidak dilakukan untuk satu jenazah saja, namun bisa puluhan jenazah dari berbagai desa.

Waktu Pelaksanaan dan Tata Cara Upacara Tiwah

Banyaknya tahapan dalam upacara Tiwah membuat perayaan ini bisa berlangsung selama 7 hingga 40 hari. Waktu penyelenggaran upacara Tiwah biasanya dilangsungkan pada saat setelah musim panen padi, yakni sekitar bulan Mei, Juni dan Juli. 

Pemilihan waktu setelah panen dikarenakan pada waktu tersebut orang-orang memilki cadangan pangan yang cukup bagi anggota keluarga yang akan menyelanggarakan upacara Tiwah. Selain itu, masa pascapanen bersamaan dengan masa liburan anak sekolah.

Upacara kematian dalam kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju secara garis besarnya dibagi menjadi dua. Pertama, upacara-upacara yang dilakukan setelah kematian seseorang hingga saat penguburan. Sedangkan tahapan kedua upacara Tiwah itu sendiri. 

Kedua upacara tersebut biasanya memiliki jeda. Umumnya, jeda ini berlangsung selama satu tahun hingga beberapa tahun. Jeda ini diakibatkan permasalahan biaya upacara Tiwah yang mahal sehingga pihak keluarga menunda pelaksanaannya untuk mengumpulkan dana terlebih dahulu. 

Dalam mempersiapkan upacara Tiwah, pihak keluarga pertama-tama harus mendirikan balai nyahu, yaitu tempat untuk menyimpan tulang belulang yang sudah dibersihkan. Kemudian, keluarga harus membuat anjung-anjung atau bendera kain yang jumlahnya harus sama dengan jenazah yang akan ditiwahkan.

Setelah itu, keluarga memasukkan tulang belulang ke balai nyahu. Tahapan ini disebut Tabuh I, Tabuh II, dan Tabuh III. Ini merupakan tahapan yang riskan karena di sinilah roh mulai diantarkan ke lewu tatau. Tabuh dilakukan secara tiga hari berturut-turut.

Tahapan berikutnya adalah keluarga melakukan tarian Manganjan sambil mengelilingi sangkai raya (tempat anjung-anjung dan persembahan untuk Ranying Hatalla berada) dan sapundu (patung berbentuk manusia). Begitu riang dan suka cita karena roh keluarga mereka naik ke surga.

Sapundu berfungsi sebagai tempat mengikat kerbau, sapi, ayam, atau babi yang nantinya akan dikurbankan. Hewan-hewan tersebut ditusuk dengan tombak hingga mati oleh keluarga. Penombak pertama adalah orang tua dalam silsilah keluarga. Mereka percaya cucuran darah hewan tersebut akan menyucikan roh.

Kepala hewan yang sudah mati akan dipenggal dan dikumpulkan sebagai makanan para roh. Sementara, daging hewan tersebut akan dimasak untuk dikonsumsi bersama.

Pantangan dalam Upacara Tiwah 

Saat upacara Tiwah berlangsung tidak saja menarik untuk masyarakat Kalimantan Tengah, namun banyak wisatawan domestik maupun mancanegara yang ingin melihatnya. 

Sebagai upacara sakral, ada sejumlah pantangan saat menyaksikan upacara Tiwah. Ada sayuran, jenis hewan dan ikan yang tidak boleh dibawa ke lokasi upacara. Jika aturan ini dilanggar, maka pelanggar akan mendapat sanksi adat Tiwah. (*)
Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Berkomentarlah dengan nama yang jelas dan bukan spam agar tidak dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top