Sejarah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

 
Pada tahun 1950 secara resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia.

Keraton Kesultanan Yogyakarta (Sumber Foto: Kemdikbud)

IPHEDIA.com - Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu sebuah negara dependen yang berbentuk kerajaan yang ada di Indonesia. Kerajaan Mataram Islam ini berpusat di daerah Kotagede atau sebelah tenggara Kota Yogyakarta. 

Semasanya, kerajaan ini sempat mengalami perpindahan ke Plered, Kartasura dan Surakarta. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara ini waktu itu diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. 

Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. 

Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu, Sunan Pakubuwana III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kesunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.

Sultan Hamengku Buwono I kemudian membuat ibu kota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibu kota berikut istananya tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan lansekap utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. 

Bersamaan berjalannya waktu, daerah Kesultanan Yogyakarta mengalami pasang surut, terutama terkait dengan pengaruh pemerintah kolonial, baik Belanda ataupun Inggris. Pada 20 Juni 1812, Sultan Hamengku Buwono II dituntut turun tahta kala Inggris sukses menyerang dan memasuki keraton. 

Sebagai dampaknya, sebagian wilayah milik Sultan Hamengku Buwono III dipaksa untuk diberikan kepada Pangeran Notokusumo (putra Hamengku Buwono I) yang diangkat sebagai Adipati Paku Alam I oleh Inggris sebagai ganti dari hal tersebut. 

Wilayah kekuasan yang diberikan ini meliputi sebagian kecil wilayah Ibu Kota Negara di Kulon Progo yang merupakan wilayah yang bersifat otonom dan bisa diwariskan kepada generasi Pangeran Notokusumo. Oleh sebab itu, semenjak 17 Maret 1813, Adipati Paku Alam I mendeklarasikan berdirinya Kadipaten Pakualaman.

Pergantian besar selanjutnya terjadi setelah lahirnya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai raja, setelah berdirinya Republik baru tersebut Hamengku Buwono IX kemudian mengucapkan salamnya dan ucapan selamat kepada para proklamator bangsa. 

Saat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII pada tanggal 5 September 1945 mengeluarkan amanat, dukungan republik menjadi semakin besar. Amanat itu berisikan pernyataan jika wilayahnya bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Menerima amanat itu, Presiden Republik Indonesia pertama Ir Soekarno menetapkan dwi tunggal pemegang kekuasaan Wilayah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah Sultan Hamengku Buwono dan juga Adipati Paku alam.

Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Pada tahun 1950 secara resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia. 

Dengan demikian, status Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah negara (state) berakhir dan menjelma menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan, institusi istana kemudian dipisahkan dari 'negara' dan diteruskan oleh Keraton Kesultanan Yogyakarta. 

Nama Yogyakarta perubahan bentuk dari Yodyakarta. Yodyakarta berasal dari kata Ayodya dan Karta. Ayodya diambil dari nama kerajaan dalam kisah Ramayana, sementara karta berarti damai. (*)
Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Berkomentarlah dengan nama yang jelas dan bukan spam agar tidak dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top