Kerajaan Melayu, Kerajaan Tertua di Pulau Sumatera

 
Kekalahan Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025.

IPHEDIA.com - Kerajaan Melayu (Melayu Kingdom) berdiri pada abad ke-7 Masehi dengan pemerintahannya berpusat di Minanga. 

Pada pada abad ke-13 Masehi, ibu kota kerajaan ini berpusat di Dharmasraya dan diawal abad ke-15 Masehi berpusat di Suruaso atau Pagaruyung. 

Kerajaan Melayu diketahui juga sebagai kerajaan tertua di Pulau Sumatera sebelum Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Tulang Bawang di Lampung.

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Tionghoa ditulis Ma-La-Yu, sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatera (Swarnadwipa) atau Swarnabumi (Thai: Sovannophum). 

Oleh para pendatang, pulau di bagian barat Indonesia ini dulunya disebut juga sebagai pulau emas karena memiliki tambang emas. 

Pada awalnya, Kerajaan Melayu mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum akhirnya terintegrasi dengan Kerajaan Sriwijaya (Thai: Sevichai) pada tahun 682.

Penggunaan kata Melayu telah dikenal sekitar tahun 100-150 seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon. 

Kemudian, dalam kitab Hindu Purana pada zaman Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang dikelilingi air.

Berita tentang Kerajaan Melayu, antara lain diketahui dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing atau I Ching (pinyin Yì Jìng) tahun 634-713 yang termasyhur.

Kedua buku itu, yakni Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) dan Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang).

Dalam pelayarannya dari Tiongkok ke India tahun 671, I Tsing atau I Ching singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya.

Di sini, ia menerjemahkan naskah-naskah agama Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa. 

Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri, dengan terjemahan sebagai berikut:

“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan .... Setelah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana saya berdiam selama enam bulan untuk belajar Sabdawidya. Sri Baginda sangat baik kepada saya. Dia menolong mengirimkan saya ke negeri Malayu, di mana saya singgah selama dua bulan. 


Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah .... Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) .... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India)”

Selanjutnya, dalam perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut:

“Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Tiongkok. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua .... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. 


Setelah kira-kira sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”

Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut penduduk di Kerajaan Melayu.

Berita lain mengenai Kerajaan Melayu berasal dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961.

Kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 645 untuk pertama kalinya. 

Namun, setelah munculnya Sriwijaya sekitar 670, Kerajaan Melayu tidak ada lagi mengirimkan utusan ke Tiongkok.

Lokasi Pusat Kerajaan

Berdasarkan uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran antara Sriwijaya dan Kedah. 

Jadi, Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di hulu Sungai Batang Hari. 

Sebab, pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu.

Pendapat Prof. Slamet Muljana, istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. 

Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya.  Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. 

Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi.

Dalam prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng dan terletak di atas bukit. 


Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, ahli geografi Persia, pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia). 

Dalam catatannya itu menyatakan bahwa ia mengunjungi suatu negeri yang terletak pada garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese, yakni Pulau Sumatera.

Kepindahan dari Minanga ke Dharmasraya

Kekalahan Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. 

Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. 

Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. 

Orang yang mengerjakan tugas membuat arca Buddha ini disebutkan bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. 

Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. 

Ia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari Kertanagara raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. 

Tribhuwanaraja sendiri diperkirakan dan kemungkinan besar masih keturunan dari Trailokyaraja. 

Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.

Pada tahun 1183, daerah kekuasaan Trailokyaraja telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). 

Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. 

Meski demikian, kapan kiranya kebangkitan Melayu tersebut dimulai tidak dapat dipastikan dengan jelas. 

Dari catatan Tiongkok disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i.

Di saat bersamaan, muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja, Tribhuwanaraja dan Adityawarman berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. 


Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Melayu bisa jadi dipelopori oleh kaum pendeta. 

Tidak diketahui dengan jelas pula apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya. 

Sampai saat ini belum ditemukan prasasti dari Wangsa Mauli yang lebih tua daripada Prasasti Grahi.

Daerah Kekuasaan Dharmasraya

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi karya Zhao Rugua tahun 1225 disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan.

Kelima belas daerah bawahan itu, yakni Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang) dan Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), 

Kemudian, Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur Semenanjung Malaya), Tong-ya-nong (Terengganu) dan Fo-lo-an (muara Sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang). 

Selanjutnya, Tsien-mai (Semawe, pantai timur Semenanjung Malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Pong-fong (Pahang) dan Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), 
Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang) dan Sin-to (Sunda).

Dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Pulau Sumatera sampai Sunda.

Istilah San-fo-tsi

Dalam naskah-naskah kronik Tiongkok, istilah San-fo-tsi digunakan untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum. Pada zaman Dinasti Song sekitar tahun 990–an, istilah ini identik dengan Sriwijaya. 


Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Tiongkok.

Kronik Tiongkok mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi masih mengirimkan utusan masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang). 


Dalam berita Tiongkok yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Tiongkok yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong.

Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi.

Selain surat diserahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian tahun 1088, dilanjutkan pengiriman utusan selanjutnya.

Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak ada menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya. 

Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. 

Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.

Saat ini, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Tiongkok. 

Hal tersebut digunakan untuk menyebut Pulau Sumatera secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya.

Hal serupa terjadi juga pada abad ke-14 Masehi di masa Dinasti Ming dan Kerajaan Majapahit. 

Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. 

Sementara, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya, melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu

Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera. 

Pengiriman utasan itu dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang.

Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan antara Singhasari dengan Dharmasraya. 

Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak.

Untuk memperkuat persahabatan antara Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari. 

Pernikahan Raden Wijaya dan Dara Petak ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga dinikahi oleh seorang “dewa”. 

Dara Jingga kemudian melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa.

Mengenai hal ini ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri.

Ini lumrah, sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara. 

Hal itu dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.

Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. 

Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam Prasasti Padangroco tahun 1286.

Saat itu, Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. 

Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. 

Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman. 

Adityawarman sendiri kemudian menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini untuk menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja.

Dalam Kitab Nagarakretagama

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatera.

 Namun, interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.

Pada tahun 1339, Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit untuk menaklukan wilayah Swarnnabhumi, nama lain Pulau Sumatera. 

Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang sebagai daerah bawahannya di Sumatera. 

Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai Bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali tahun 1343. 

Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh yang dimaksud ini dianggapnya identik dengan Adityawarman, uparaja Majapahit.

Dari Dharmasraya ke Pagaruyung

Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarnnabhumi. 

Pada tahun 1347, ia memproklamirkan dirinya sebagai pelanjut Dinasti Mauli, penguasa Kerajaan Melayu di Dharmasraya. 

Selanjutnya, ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso, (daerah Minangkabau), dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.

Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya. 

Kata Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya. Sedangkan, gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya. 

Di namanya itu juga ia menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. 

Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Berdasarkan catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatera) terdapat tiga orang raja yang berkuasa. 

Mereka adalah Sengk'ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang) dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya).

Sebelumnya, pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sebagai duta ke Tiongkok, yaitu pada tahun 1325 dan 1332.

Dengan nama yang sama pada masa Dinasti Ming masih dirujuk kepada Adityawarman, yang kemudian kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377.

Dari berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman Adityawarman. 

Pada naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah tersebut ada menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. 

Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bagian belakang Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar Maharajadiraja yang membawahi Dharmasraya dan Palembang. (as/rs)

Berikut ini nama-nama raja Kerajaan Melayu:

1. Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1183). Sumber: Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand.

Dalam prasasti ini berisi perintah kepada bupati Grahi bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Ibukota Kerajaan Melayu pada saat itu, yaitu di Dharmasraya.

2. Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (1286). Sumber: Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntur.

Isi prasisti itu mengenai pengiriman Arca Amonghapasa sebagai hadiah Raja Singhasari kepada Raja Dharmasraya. Ibukota Kerajaan Melayu pada saat itu, yaitu di Dharmasraya.

3. Akarendrawarman (1300). Sumber: Prasasti Suruaso. Ibukota Kerajaan Melayu pada saat itu, yaitu di Dharmasraya atau Suruaso.

4. Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa. (1347). Sumber: Arca Amoghapasa. Ibukota Kerajaan Melayu pada saat itu, yaitu di Suruaso atau Pagarruyung.

5. Ananggawarman (1375). Sumber: Prasasti Pagaruyung. Ibukota Kerajaan Melayu pada saat itu, yaitu di Pagaruyung.

Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Berkomentarlah dengan nama yang jelas dan bukan spam agar tidak dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top