Gigi Runcing, Tradisi Unik dan Ekstrem Suku Mentawai

 
Dalam masyarakat Suku Mentawai, standar kecantikan seorang wanita diukur dari telinganya yang panjang, tubuh yang dihiasi tati atau tato dan giginya yang runcing.

Sumber Foto: Genpi via Indephedia.com

IPHEDIA.com - Indonesia memiliki beragam suku dengan tradisinya yang beragam dan unik, salah satunya Suku Mentawai yang bermukim di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).

Dalam masyarakat Suku Mentawai, standar kecantikan seorang wanita diukur dari telinganya yang panjang, tubuh yang dihiasi tati atau tato dan giginya yang runcing. 

Untuk memenuhi tiga kriteria ini tentu saja harus melalui proses agar tercapai dari apa yang diinginkan, termasuk merincingkan gigi.

Bagi wanita Suku Mentawai, melansir Indephedia.com, gigi runcing menandakan kecantikan dan kedewasaan. 

Karenanya, tradisi ini dilakukan oleh wanita Suku Mentawai yang sudah dewasa bertujuan untuk kecantikan.

Guna memenuhi standar kecantikan tersebut, para wanita harus melewati proses kerik dan meruncingkan gigi dengan alat tradisional. 

Wanita Mentawai yang mengikuti tradisi ini akan melakukan proses peruncingan menggunakan alat yang terbuat dari kayu maupun besi yang sudah diasah hingga tajam. 

Dalam prosesi peruncingan gigi yang dilakukan para tetua adat itu, wanita yang giginya diruncingkan rela menahan rasa sakit dan ngilu. 

Untuk menahan rasa sakit dan ngilu, biasanya biasa wanita yang menjalani prosesi ini menggigit pisang hijau. 

Untuk mengerik 1 gigi diperlukan waktu kurang lebih 30 menit. Ada 23 gigi wanita suku Mentawai yang harus dikerik. Gigi yang selesai di runcingkan akan terlihat seperti bentuk segitiga. 

Masyarakat Mentawai percaya jika gigi yang runcing menandakan wanita itu sudah dewasa, lebih cantik dan mampu menarik perhatian kaum pria. 

Seiring perkembangan zaman hingga keputusan pribadi untuk tidak mengubah bentuk gigi, kini tradisi yang agak ekstrem ini sudah mulai ditinggalkan.

Selain itu, prosesnya yang sakit dan terasa ngilu karena tidak ada pembiusan selama prosesi juga menjadi pertimbangan banyak wanita Mentawai untuk tidak melakukan tradisi tersebut. (BD/IND)

Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Berkomentarlah dengan nama yang jelas dan bukan spam agar tidak dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top