Sejarah Krakatau dan Berpetualang Seru di Gunung Anak Krakatau (4)

 
Akibat letusan Krakatau, pulau-pulau di Kepulauan Krakatau hampir seluruhnya menghilang, kecuali tiga pulau di selatan. Gunung api kerucut Rakata terpisah di sepanjang tebing vertikal, menyisakan kaldera sedalam 250-meter (820 ft).

IPHEDIA.com - Setelah tanggal 27 Agustus 1883, letusan Krakatau mulai berkurang. Pada pagi 28 Agustus, Krakatau terdiam. Letusan kecil, sebagian besarnya mengeluarkan lumpur, tetap berlanjut hingga Oktober 1883.

Dampak Gundukan batu karang (c. 1885) dihempaskan ke pantai Jawa setelah letusan Krakatau. Pada tengah hari tanggal 27 Agustus 1883, hujan abu panas turun di Ketimbang (sekarang Desa Banding, Kecamatan Rajabasa, Lampung).

Kurang lebih 1.000 orang tewas akibat hujan abu ini. Kombinasi aliran piroklastik, abu vulkanik, dan tsunami juga berdampak besar terhadap wilayah di sekitar Krakatau. Dilaporkan, tak satupun yang selamat dari total 3.000 orang penduduk Pulau Sebesi, yang jaraknya sekitar 13 kilometer (8,1 mi) dari Krakatau.

Aliran piroklastik menewaskan kurang lebih 1.000 orang di Ketimbang dan di pesisir Sumatera yang berjarak 40 kilometer (25 mi) di sebelah utara Krakatau. Dalam musibah bencana Gunung Krakatau meletus ini, jumlah korban jiwa yang dicatat oleh pemerintah Hindia Belanda adalah 36.417, namun beberapa sumber menyatakan bahwa jumlah korban jiwa melebihi 120.000.

Kapal-kapal yang berlayar jauh hingga ke Afrika Selatan juga melaporkan guncangan tsunami, dan mayat para korban terapung di lautan berbulan-bulan setelah kejadian. Kota Merak, Banten, luluh lantak oleh tsunami, serta kota-kota di sepanjang pantai utara Sumatera hingga 40 kilometer (25 mi) jauhnya ke daratan.

Akibat letusan Krakatau, pulau-pulau di Kepulauan Krakatau hampir seluruhnya menghilang, kecuali tiga pulau di selatan. Gunung api kerucut Rakata terpisah di sepanjang tebing vertikal, menyisakan kaldera sedalam 250-meter (820 ft). Dari dua pulau di utara, hanya pulau berbatu bernama Bootsmansrots yang tersisa; Poolsche Hoed juga menghilang sepenuhnya.

Setahun setelah letusan, rata-rata suhu global turun 1,2° C. Pola cuaca tetap tak beraturan selama bertahun-tahun, dan suhu tidak pernah normal hingga tahun 1888. Selain itu pula, letusan Krakatau di tahun 1883 sebenarnya juga menjadi salah satu kejadian awal sebelum dimulainya perlawanan rakyat di Cilegon 5 tahun sesudahnya.

Kejadian ini juga sempat tercatat dalam Syair Lampung Karam oleh Muhammad Saleh, seorang yang kemungkinan asli Lampung dan mengungsi ke Singapura. Kitab syair itu terbit pada 1888, dan menceritakan secara dramatis soal kengerian dan keadaan kacau balau ketika Krakatau meletus.

Bisa dikatakan, kitab ini menceritakan letusan Krakatau satu-satunya dari perspektif pribumi sendiri. Bersambung ke Sejarah Krakatau dan Berpetualang Seru di Gunung Anak Krakatau (5). (Akhmad Sadad)

Baca: Sejarah Krakatau dan Berpetualang Seru di Gunung Anak Krakatau (5)
Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Berkomentarlah dengan nama yang jelas dan bukan spam agar tidak dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top