Jenderal Soedirman, Panglima Besar Revolusi Nasional Indonesia

 
Atas keberhasilan itu, Soedirman akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember 1945.

Sumber Foto: Tokopedia

IPHEDIA.com - Jenderal Besar Raden Soedirman (EYD: Sudirman) seorang perwira tinggi pada masa Revolusi Nasional Indonesia.

Jenderal Sudirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916 dan meninggal tanggal 29 Januari 1950 saat berumur 34 tahun. 

Sebagai panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia adalah sosok yang dihormati. 

Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. 

Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin. 

Ia juga aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah.

Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. 

Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah. 

Di sekolah dasar Muhammadiyah, ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah tahun 1937.

Saat pasukan Jepang menduduki Hindia Belanda pada tahun 1942, Soedirman tetap mengajar. 

Bergabung dengan PETA

Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. 

Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan. 

Soerdirman kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden pertama Soekarno. 

Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. 

Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. 

Terpilih Jadi Panglima Besar

Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar.

Sedangkan, Oerip Soemohardjo (EYD: Urip Sumoharjo) yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staff. 

Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. 

Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman.

Atas keberhasilan itu, Soedirman akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember.

Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. 

Negosiasi yang gagal itu pertama adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun oleh Soedirman.

Kemudian, Perjanjian Renville –yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia.

Tak hanya itu, ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. 

Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya. 

Karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948. 

Perlawanan Gerilya

Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta.

Pada saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di keraton sultan, Soedirman tak tinggal diam.

Ia beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan. 

Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. 

Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.

Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. 

Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. 

Penyakit TBC yang diidapnya kembali kambuh. Lalu, ia pensiun dan pindah ke Magelang. 

Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Tokoh Perjuangan dan Pahlawan Nasional

Kematian Jenderal Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. 

Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakamannya. 

Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia sebagai tokoh perjuangan dan panglima besar. 

Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia.

Rute gerilya sepanjang 100 kilometer (62 mi) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer.

Selain itu, Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran Bank Indonesia tahun 1968. 

Namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan di kota-kota besar di Indonesia, universitas, museum hingga monumen. 

Pada tanggal 10 Desember 1964, atas jasanya ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. (SJ/TK/)

Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Berkomentarlah dengan nama yang jelas dan bukan spam agar tidak dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top