Perjanjian Giyanti, Pecahnya Wilayah Kerajaan Mataram Jadi Dua

 
Berdasarkan perundingan yang dilakukan pada tanggal 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Pakubuwana III, pada tanggal 13 Februari 1755 ditandatanganilah Perjanjian di Giyanti.

IPHEDIA.com - 
Perjanjian Giyanti sebuah perjanjian antara VOC, pihak Kesultanan Mataram yang diwakili Sunan Pakubuwana III dan kelompok Pangeran Mangkubumi. 

Dalam pertemuan dan penandatanganan, Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini.

Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian tersebut, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda).

Tempat itu sekarang terletak di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, sebelah tenggara Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah (Jateng).

Adanya perjanjian ini karena terjadi konflik internal keluarga Kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah. 

Beberapa keturunan Sultan Agung berebut kekuasaan untuk mendapatkan haknya sebagai Raja Jawa.

Pangeran Mangkubumi memutar haluan dengan menyeberang dari kelompok pemberontak ke kelompok pemegang legitimasi kekuasaan. 

Tujuan Pengeran Mangkubumi bergabung ke kelompok pemegang legitimasi kekuasaan itu untuk memerangi pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa.

Meski demikian, kebijakan yang diterapkan pemerintah Pemerintah Hindia Belanda tak kunjung meredakan suasana. 

Pangeran Mangkubumi menekan dan membujuk VOC untuk mengakuinya sebagai penerus sah tahta Mataram.

Sementara, Paku Buwono II yang telah berada di Kartasura tetap bersikukuh terhadap hak tahta Mataram. 

Melalui sebuah kesepakatan, VOC mencoba menjembatani konflik antara dua kubu tersebut melalui sebuah perundingan pembagian wilayah.

Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 tersebut secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kesultanan Mataram yang sepenuhnya independen.

Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi menjadi dua wilayah, yang masing-masing dipegang oleh ahli waris. 

Wilayah di sebelah timur Sungai Opak (yang melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris takhta Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III, dan tetap berkedudukan di Surakarta.

Kemudian, untuk wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi yang sekaligus diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang menetap di Yogyakarta. 

Di dalamnya juga terdapat klausul bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.

Menurut dokumen register harian N Hartingh, Gubernur VOC untuk Jawa Utara, pada tanggal 10 September 1754 ia berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi.

Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru terlaksana pada tanggal 22 September 1754. 

Pada hari berikutnya, diadakan perundingan tertutup yang hanya dihadiri beberapa orang.

Dalam perundingan ini, Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Natakusuma dan Tumenggung Ronggo. 

Sedangkan, Hartingh sendiri didampingi oleh Breton, Kapten C Donkel, dan sekretarisnya, W Fockens. Adapun yang menjadi juru bahasa adalah Pendeta Bastani.

Pada pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram, Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua pemimpin dalam satu kesultanan. 

Mangkubumi menyatakan bahwa di Cirebon ada lebih dari satu sultan. Hartingh pun menawarkan Mataram sebelah timur yang ditolak Mangkubumi.

Perundingan antar pihak berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara mereka. 

Akhirnya, setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji, maka pembicaraan bisa berjalan lancar.

Hartingh kembali mengusulkan agar Mangkubumi tidak menggunakan gelar sunan dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai olehnya. 

Mangkubumi keberatan melepas gelar sunan karena rakyat telah mengakuinya sebagai sunan sejak lima tahun sebelumnya.

Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan yang Dipertuan atas Kesultanan Mataram ketika Pakubuwana II wafat di daerah Kabanaran.

Pengangkatan Pangeran Mangkubumi bersamaan saat VOC melantik Adipati Anom menjadi Pakubuwana III.

Berdasarkan perundingan yang dilakukan pada tanggal 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Pakubuwana III, pada tanggal 13 Februari 1755 ditandatanganilah perjanjian di Giyanti. 

Surat perjanjian itu terdiri dari sembilan pasal dan satu penutup dan ditandatangani pihak yang terlibat.

Pada tanggal 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar sultan dan mendapatkan setengah bagian kesultanan.

Dalam nota kesepahaman itu, daerah pantai utara Jawa atau daerah pesisiran yang telah diserahkan pada VOC tetap dikuasai oleh VOC. 

Kemudian, dalam nota kesepahaman tersebut, setengah bagian ganti rugi atas penguasaan tersebut akan diberikan kepada Mangkubumi. 

Selain itu, Mangkubumi juga akan memperoleh setengah pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut selanjutnya disampaikan kepada Pakubuwana III. 

Pada tanggal 4 November 1754, Pakubuwana III menyampaikan surat kepada Gubernur Jenderal VOC, Mossel.

Surat tersebut mengenai persetujuannya tehadap hasil perundingan antara Gubernur Jawa Utara, N Hartingh dan Pangeran Mangkubumi.

Berdasarkan perundingan yang dilakukan pada tanggal 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Pakubuwana III, pada tanggal 13 Februari 1755 ditandatanganilah perjanjian di Giyanti.

Perjanjian Giyanti belum mengakhiri kerusuhan karena dalam perjanjian ini kelompok Pangeran Sambernyawa tidak diikutsertakan. 

Seperti yang diketahui, dalam Perjanjian Giyanti Pangeran Sambernyawa adalah rival Pangeran Mangkubumi untuk menjadi penguasa Mataram.

Perjanjian Giyanti merupakan bentuk persekongkolan untuk mengalahkan pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa. 

Namun, oleh VOC, Perjanjian Giyanti dilaksanakan dengan tujuan membangun aliansi kekuatan baru. 

Kekuatan itu untuk menumpas pemberontak dan mengurangi kekuatan pemberontak dengan menggandeng salah satu kekuatannya.

Dalam perkembangan selanjutnya, politik adu domba Belanda sukses membuat dua kerajaan ini kembali terpecah. 

Dalam perjalanan sejarah, Pangeran Sambernyowo dari Surakarta mendirikan kadipaten sendiri yang otonom terpisah dari Kerajaan Surakarta.

Wilayah kekuasaan Pangeran Sambernyowo kemudian dikenal hingga sekarang dengan sebutan Mangkunegaran. 

Pangeran Sambernyowo berkuasa dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro.

Sementara itu, Pangeran Notokusumo dari Yogyakarta dalam perjalanan sejarah juga mendirikan daerah otonom yang terpisah dari Kesultanan Yogyakarta. 

Kemudian, Pangeran Notokusumo mendapat kekuasaan sebagian dari wilayah Yogyakarta dan mendirikan kadipaten otonom, yakni Kadipaten Pakualaman. 

Notokusumo yang mendirikan Kadipaten Akualaman bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam. (*)

Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Berkomentarlah dengan nama yang jelas dan bukan spam agar tidak dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top