Teuku Umar, Pahlawan Nasional dari Aceh

 
Karena keberanian dan jiwa kepemimpinannya, dalam usia yang relatif muda Umar sudah diangkat sebagai Keuchik Gampong atau kepala desa di Daya Meulaboh.

IPHEDIA.com - Teuku Umar, salah satu pahlawan terbesar rakyat Aceh dan pahlawan Nasional. Perjuangannya memimpin perlawanan rakyat Aceh dalam upayanya mengusir penjajahan Belanda dari tanah Rencong, adalah sebuah perjuangan dan pengabdian luar biasa untuk rakyat Aceh dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Teuku Umar yang lahir di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854, putera seorang Uleebalang bernama Teuku Mahmud dari perkawinannya dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Leluhur Teuku Umar, Datuk Makhudum Sati, berasal dari Minangkabau. Dia keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.

Ketika meletus perang Aceh pada 1873, Teuku Umar berusia 19 tahun. Umar muda pun turut berjuang di kampung halamannya, hingga ke wilayah Aceh Barat. Karena keberanian dan jiwa kepemimpinannya, dalam usia yang relatif muda Umar sudah diangkat sebagai Keuchik Gampong atau kepala desa di Daya Meulaboh. Menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar lantas menikahi seorang puteri dari Uleebalang Glumpang.

Teuku Umar juga kemudian menikahi Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Pada 1880, Teuku Umar lantas menikahi Cut Nyak Dien, seorang janda dari Teuku Ibrahim Lamnga yang gugur dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun pada 1878. Teuku Umar dan Cut Nyak Dien lantas berjuang bersama melawan Belanda.

Teuku Umar pernah diberi gelar Teuku Johan Pahlawan oleh Belanda. Umar pernah berpura-pura menyerah dan berdamai dengan Belanda pada 1883, sebagai bagian dari strateginya untuk bisa mendapatkan persenjataan dari Belanda. Gubernur Jenderal Belanda Van Teijn lantas berusaha untuk mendapatkan hati rakyat Aceh dengan memanfaatkan Teuku Umar.

Saat dirinya bergabung dengan Belanda, Teuku Umar berusaha menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Hal itu dilakukan Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi pihak Belanda agar Teuku Umar bisa diberi peran yang lebih besar oleh Belanda. Strategi Umar pun berhasil dan Belanda mengabulkan permintaan Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Panglima Laut.

Pada tahun 1884, Teuku Umar pernah ditugasi Belanda untuk membebaskan kapal Nicero milik Inggris yang disandera oleh Raja Teunom. Peristiwa penyanderaan kapal Nicero ini sempat menyulut ketegangan antara Belanda dan Inggris. Teuku Umar pun menyatakan diri sanggup membebaskan kapal tersebut asal diberi persenjataan dan logistik yang banyak.

Teuku Umar lantas berangkat menggunakan kapal Bengkulen ke Aceh Barat dengan membawa perbekalan perang yang cukup, beserta 32 tentara Belanda dan beberapa panglimanya. Namun tak lama setelah Umar berlayar, Belanda dikejutkan oleh berita yang menyatakan bahwa seluruh tentara Belanda yang ikut dibunuh di tengah laut. Semua senjata dan perlengkapan perang lainnya juga dirampas. Sejak itu, Teuku Umar pun kembali berpihak pada rakyat Aceh.

Setelah berhasil membawa persenjataan milik Belanda, Teuku Umar lantas membagikan senjata-senjata hasil rampasan tersebut kepada tentara Aceh, dan memimpin kembali perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Teuku Umar berhasil merebut kembali beberapa daerah yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda.

Pada 15 Juni 1886, kapal Hok Canton yang dinakhodai pelaut Denmark bernama Kapten Hansen merapat ke bandar Rigaih. Kapten Hansen bermaksud menukarkan senjata dengan lada, yang tujuannya adalah untuk menjebak Umar agar naik ke kapalnya. Kapten Hansen berniat menculik Teuku Umar dan membawa lari lada yang akan dimuat ke pelabuhan Ulee Lheu, untuk memudian diserahkan kepada Belanda yang telah menjanjikan $ 25 ribu sebagai imbalannya.

Namun Umar yang sudah curiga ini lantas mengatur siasat. Pagi dini hari, salah satu Panglima bersama 40 orang prajuritnya diperintahkan untuk menyusup ke kapal, tanpa disadari oleh Kapten Hansen yang terkepung.

Esoknya, Teuku Umar datang dan menuntut pelunasan lada sebanyak $ 5 ribu, tetapi Hansen malah ingkar janji, dan memerintahkan anak buahnya menangkap Umar. Teuku Umar yang memang sudah siap lantas memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melumpuhkan Hansen. Mendapati rencananya gagal, Belanda pun sangat marah pada Teuku Umar.

Peperangan antara rakyat Aceh melawan Belanda pun terus berlanjut. Pada tahun 1891, Teungku Cik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem VIII gugur dalam pertempuran. Meski demikian, Belanda juga sangat kesulitan dalam perang melawan rakyat Aceh ini. Perang yang terus berlangsung dalam waktu cukup lama ini telah membuat Belanda harus mengeluarkan biaya yang sangat besar.

Di pihak lain, Teuku Umar sendiri merasa bahwa perang ini sangat menyengsarakan rakyat karena mereka tak bisa lagi bekerja dengan leluasa. Teuku Umar pun merubah strategi dan kembali menyerah pada 1893. Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja bersama 13 orang Panglima bawahannya. Saat itulah, Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland.

Setelah sekian lama menjadi pemimpin prajurit Belanda, pada 30 Maret 1896, Teuku Umar kembali memimpin rakyat Aceh dan keluar dari kesatuan militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Berita larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Belanda hingga Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter.

Belanda pun segera mendatangkan pasukan bantuan dari Jawa dan Gubernur Vetter ultimatum agar Umar menyerahkan kembali semua senjatanya. Karena Umar tidak mau memenuhi tuntutannya, pada tanggal 26 April 1896 gelar Teuku Johan Pahlawan sebagai Uleebalang Leupung dan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda dicabut.

Setelah itu, Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi Belanda. Umar pun menjadi pemimpin seluruh rakyat Aceh melawan Belanda pada tahun 1896, dengan dibantu oleh Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot, dan mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Untuk pertamakalinya rakyat Aceh berjuang dalam satu komando.

Teuku Umar bersama pasukannya tiba di wilayah Pidie pada Februari 1898 dan bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para Uleebalang serta para ulama terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada raja Aceh Sultan Muhammad Daud Syah.

Belanda yang mendapat laporan kedatangan Teuku Umar yang bergerak menuju Meulaboh ini segera menempatkan pasukannya untuk mencegat di perbatasan Meulaboh. Pada Februari 1899 pasukan Teuku Umar yang tiba di pinggiran kota Meulaboh ini terkejut karena dihadang pasukan Belanda.

Mendapat serangan secara tiba-tiba, Teuku Umar dan pasukannya yang dalam posisi terjepit ini tak bisa mundur untuk mengatur siasat. Saat itu, bertempur adalah satu-satunya jalan untuk bisa selamat. Teuku Umar pun gugur dalam pertempuran ini karena tertembak di bagian dadanya. Jenazah pahlawan besar Aceh ini kemudian dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh.

Cut Nyak Dhien yang bersedih mendengar suaminya gugur ini lantas bertekad untuk meneruskan perjuangan dan memimpin perjuangan rakyat Aceh. Atas jasa-jasanya terhadap rakyat Aceh dan bangsa Indnesia, Teuku Umar kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar banyak diabadikan sebagai nama jalan, lembaga pendidikan dan sekolah, termasuk sebuah kapal perang milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (as/ip)
Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Berkomentarlah dengan nama yang jelas dan bukan spam agar tidak dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top