Sejarah Kota Metro, Daerah Kolonisasi di Lampung Asal Pulau Jawa

 
Kedatangan para kolonis setibanya ke tempat yang dituju ditempatkan pada objek penempatan yang sudah dipersiapkan. Mereka ini, sebagian besar ditempatkan di daerah kolonisasi Sukadana sebagai kelanjutan penempatan yang dalam tahun-tahun sebelumnya telah dilakukan.

IPHEDIA.com - 
Ibukota Kabupaten Lampung Tengah sebelum pemekaran wilayah berpusat di Kota Metro. Kota administratif di Provinsi Lampung ini memiliki perjalanan historis yang cukup panjang. 

Sebagai daerah kolonisasi pemerintah kolonial Belanda waktu itu, Metro yang sebelumnya dinamakan dengan Trimurjo, dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan cukup pesat. 

Kolonial Belanda yang lebih dulu berpikiran maju, dengan imperialismenya menggariskan land use planning terhadap tempat tersebut sebagai daerahnya yang berada diluar Pulau Jawa.

Perkembangan Metro sebagai pusat ibukota Kabupaten Lampung Tengah pertama, bermula dari dibangunnya sebuah desa induk baru yang kala itu masih bernama Trimurjo, salah satu desa di wilayah Wedana Sukadana. 

Di sini telah ditempatkan kelompok-kelompok kolonis dari Pulau Jawa. Atas inisiatif pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1934-1935 secara berkelanjutan pihak kolonial mendatangkan lagi kolonis dari tanah seberang. 

Mereka yang didatangkan itu, masing-masing sebanyak 1.375 Kepala Keluarga (KK) dan 12.524 jiwa ke daerah tersebut. Antara tahun ini para kolonis didatangkan secara bertahap.

Kedatangan para kolonis setibanya ke tempat yang dituju ditempatkan pada objek penempatan yang sudah dipersiapkan. 

Mereka ini, sebagian besar ditempatkan di daerah kolonisasi Sukadana sebagai kelanjutan penempatan yang dalam tahun-tahun sebelumnya telah dilakukan. 

Maksud dari pembukaan induk desa baru, yaitu untuk menampung kolonis-kolonis yang akan didatangkan selanjutnya, terutama kolonis dari Jawa Dwipa.

Rencana Hindia Belanda mengkolonisasikan lagi kelompok masyarakat dari Jawa ke daerah bukaan baru akhirnya terwujud. 

Setelah mereka di data, para kolonis bertolak dari tanah seberang (Pulau Jawa) menuju ke daerah penempatan. 

Pada hari Saptu, 4 April 1936 para kolonis pertama berdatangan menginjakkan kakinya di Metro yang waktu itu masih bernama Trimurjo. 

Orang tua, bapak-bapak, ibu-ibu, remaja dan anak-anak tampak turut serta di dalam rombongan kolonis. 

Kedatangan para kolonis yang pelaksanaannya di fasilitasi pemerintah kolonial Belanda, membuat catatan sejarah tentang cikal bakal perkembangan daerah ini.

Kehadiran kolonis yang rombongan itu, pada saat awal kedatangannya untuk sementara waktu ditempatkan/di tampung di bedeng-bedeng (rumah panjang) yang sebelumnya sudah disediakan. 

Hal tersebut dimaksudkan untuk menampung kolonis sebelum dilakukan penempatan. Berselang waktu kemudian, pada hari Selasa, 7 April 1936 para kolonis ini dibagikan tanah pekarangan. 

Lahan tanah yang mereka peroleh, sebelumnya memang telah di atur sedemikian rupa menurut pengaturannya. Masing-masing kolonis mendapat jatah tanah.
              
Setelahnya, mulailah mereka menebangi pohon-pohon dan semak belukar pada areal yang di terima. 

Untuk selanjutnya, setelah daerah penempatan sudah terbuka, secara bertahap kolonis-kolonis mulai membangun tempat tinggal masing-masing dengan berdindingkan papan atau kayu serta beratapkan rumbia/alang-alang. 

Semenjak itu, penempatan tersebut mulai berpenduduk, sebagaimana daerah penempatan lainnya yang lebih dulu dilakukan.

Hadirnya para kolonis dengan tempat tinggal mereka, membuat tumbuh perkampungan baru di daerah ini. 

Tempat yang tadinya masih banyak ditumbuhi pepohonan dan semak belukar di mana-mana itu lambat laun berpenghuni. 

Pada saat kedatangan kolonis, di sini telah berdiri 3 bangunan baru, berupa poliklinik, bivak/pos polisi serta sebuah rumah, yang kemudian menjadi rumah dinas asisten wedana Metro. 

Pendirian ketiga bangunan tersebut setidaknya merupakan pembangunan sarana pertama di lingkungan kolonis kala itu.

Setelah kedatangan kolonis ke daerah ini, perkembangan bukaan baru terus mengalami kemajuan. 

Bukan hanya dalam hal tingkat keramaian maupun bangunan fisik saja, tetapi juga daerah yang ada secara berangsur-angsur semakin terbuka dan penduduk kolonis pun makin bertambah.

Sebagai masyarakat datangan, mereka mau bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup dan membangun daerahnya, meskipun segala sesuatu masih dalam keterbatasan. 

Kegiatan perekonomian juga sudah tumbuh dan berkembang. Demikian pula hubungan ke daerah lain lambat laun mulai terbuka, khususnya hubungan jalan ke arah Sukadana dan Tegeneneng.

Waktu itu, daerah penempatan tersebut dinamai dengan Bedeng 15.  Di mana, Bedeng 15 diperuntukkan bagi areal serta daerahnya telah di atur sedemikian rupa oleh pemerintah kolonial Belanda.

Untuk areal di lingkungan kolonis yang diatur Belanda itu, seperti untuk perumahan, perkantoran, lapangan, pasar dan yang akan dijadikan lahan pertanian. 

Kolonial Hindia Belanda sudah memiliki rencana cukup matang untuk para kolonis dan daerah penempatannya. 

Guna lebih memudahkan pengaturan penduduk kolonis, ditetapkanlah kepala Bedeng 15, yaitu Dastro Gondo Wardoyo yang akhirnya menjadi kepala desa Metro pertama.

Pada awalnya, daerah kolonisasi semula termasuk dalam kewedanaan Sukadana, Marga Unyi dan Buai Nuban. 

Semasanya, di keresidenan Lampung (Residentie Lampongshe Districten), Sukadana merupakan bagian dari onder afdeling. Onder Afdeling Sukadana sendiri membawahi 3 (tiga) district. 

Setiap onder district dalam menyelenggarakan pemerintahan dikepalai seorang asisten demang yang di dalam pemerintahan bertugas sebagai pembantu demang. 

Demang untuk mengkoordinir para pesirah sebagai kepala pemerintahan marga. Saat itu, kolonisasi ditempatkan pada tanah marga penduduk pribumi.

Berdasarkan keputusan rapat dewan marga tanggal 17 Mei 1937, daerah pemukiman kolonis atas kesepakatan musyawarah dipisahkan dari hubungan kemargaan, meskipun kala itu sistem pemerintahan teritorial sejak lama berbentuk kepemerintahan marga. 

Pemisahan tersebut bila di pandang dari sudut kultur setempat dikarenakan para kolonis terdiri dari penduduk pendatang dan tidak ada hubungan dengan kebuaian masyarakat asli Lampung.

Pada hari Rabu, 9 Juni 1937 nama Desa Trimurjo berdasarkan hasil kesepakatan bersama resmi di ganti dengan nama Desa Metro. 

Penggantian asal nama desa ini, antara lain disebabkan perkembangan penduduknya yang cukup pesat sebagai pusat pemerintahan Onder District Metro. Sebagai asisten wedana pertama dijabat Raden Mas Sudarto.

Penggantian nama Trimurjo menjadi Desa Metro memiliki alasan yang cukup mendasar. Sebab, pergantian penamaan didasarkan pada pertimbangan letak daerah kolonisasi. 

Waktu itu, daerah kolonisasi ini persis berada di tengah-tengah antara dua tempat, yakni Desa Adipuro (Trimurjo) dan Desa Rancang Purwo (Pekalongan). 

Nama Trimurjo pun semasanya telah pula di pakai sebagai salah satu nama desa di Kecamatan Trimurjo sekarang.

Mengenai penamaan Metro, seorang kolonis mengatakan bahwa sebutan ‘Metro’ berasal dari kata “Mitro”, yang artinya keluarga, persaudaraan atau kumpulan kawan-kawan. 

Adapun yang mengatakan Metro, berasal dari kata “Meterm” –bahasa Belanda- artinya pusat atau centrum/central.

Meterm maksudnya merupakan pusat/sentral kegiatan. Karena bila dilihat dari posisi memang letaknya berada di tengah-tengah. 

Pembagian wilayah ini dulu dibagi atas vak-vak, misalnya Trimurjo (Kecamatan Trimurjo, Kabupaten Lampung Tengah sekarang) berada di Vak A dan Metro (Kota Metro) berada di Vak M.

Dari penamaan itu, kolonis lain mengungkapkan bahwa penamaan Metro mempunyai arti kata ganda.

Metro arti pertama berarti saudara/persaudaraan, dan kedua berarti “tengah”, yakni tempat yang berada di tengah-tengah antara Rancang Purwo dan Adipuro.

Dari dua pengertian yang ada, dapat di tarik kesimpulan bahwa kata Metro memiliki arti ganda, yaitu pertama: suatu tempat yang menjadi kumpulan keluarga (kolonisasi) yang bersaudara atau terikat tali persaudaraan. 

Kedua: berarti secara geografis yang bernama Metro ini letaknya berada di tengah-tengah (pusat/centrum/central/meterm) antara Rancang Purwo yang di buka tahun 1932 dan Adipuro (Trimurjo) yang mulai dibuka tahun 1935.

Untuk lebih mengefektifkan pelayanan umum kepada para kolonis, dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1938 di Metro telah didirikan sebuah klinik. 

Di mana sebelumnya juga dilakukan pembangunan rumah sakit yang ke semuanya milik Room Katholieke Misie. 

Berselang kemudian pada tahun 1941, Metro sudah pula menjadi tempat kedudukan seorang controlir, insinyur dan dokter pemerintah kota.

Pada tahun tersebut, kota kolonisasi telah juga memiliki pasar yang cukup besar dan ramai, kantor pos, pesanggrahan, masjid serta penerangan listrik. 

Hanya dalam beberapa tahun saja tempat itu dilengkapi sejumlah sarana-prasarana. Berbagai fasilitas, terutama di pusat kota kolonisasi sudah tersedia.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah mempersiapkan daerah penempatan bagi kolonisasinya dengan baik. 

Mereka mengadakan pengaturan untuk tempat pemukiman, pertanian, tempat perdagangan, jaringan jalan raya dan saluran irigasi.

Kemudian, ada pula berbagai fasilitas sosial, perkantoran, taman-taman kota, bahkan rute pembuangan air hujan saat datang musim penghujan. 

Dengan perencanaan terarah, pemerintah kolonial Belanda merubahnya menjadi tempat yang tidak hanya mengkolonisasikan kelompok kolonis dari Pulau Jawa, tapi juga merubahnya jadi wilayah yang maju.

Usaha kolonial Belanda untuk dapat memajukan daerah ini setidaknya telah menunjukkan hasil yang cukup berarti. 

Sejak kedatangan kolonis pertama sampai dengan sudah dibangunnya sejumlah fasilitas, Metro makin tumbuh berkembang dari waktu ke waktu. 

Namun, pada tahun 1942, bangsa Belanda yang sudah berabad-abad lamanya menjajah tanah air berhasil ditaklukkan Jepang (tentara Nippon). 

Hanya dalam tempo yang tidak terlalu lama, penjajah Jepang berhasil menguasai Indonesia, termasuk wilayah Lampung Tengah keresidenan Lampung. 

Daerah Metro yang sebelumnya kolonisasi kolonial Hindia Belanda dapat dikuasai Jepang yang masuk ke Lampung. (*)        

Sumber: Buku "Lampung Tengah Dalam Lintas Sejarah", Penulis Utama: Akhmad Sadad (Pendiri INDEPHEDIA.com), Penerbit: Bappeda, Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah, 2009.

Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Berkomentarlah dengan nama yang jelas dan bukan spam agar tidak dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top