Hingga menjelang Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 dan periode perjuangan fisik setelah itu, di daerah Lampung juga ikut terlibat dan merasakan betapa pahitnya perjuangan melawan penindasan penjajah yang silih berganti.
IPHEDIA.com - Di Indonesia, provinsi yang berada di ujung selatan Pulau Sumatera bernama Lampung.
Provinsi Lampung lahir pada 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 31964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964.
Sebelum 18 Maret 1964, Provinsi Lampung merupakan karesidenan yang secara administratif masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Selatan.
Pada zaman VOC, daerah Lampung tidak terlepas dari incaran penjajahan Belanda.
Tatkala Banten di bawah pimpinan Sultan Agung Tirtayasa (1651-1683), Banten berhasil menjadi pusat perdagangan yang dapat menyaingi VOC di perairan Jawa, Sumatra dan Maluku.
Sultan Agung dalam upaya meluaskan wilayah kekuasaan Banten mendapat hambatan karena dihalang-halangi VOC yang bercokol di Batavia.
Putra Sultan Agung Tirtayasa bernama Sultan Haji diserahi tugas untuk menggantikan kedudukan mahkota Kesultanan Banten.
Dengan kejayaan Sultan Banten pada saat itu tentu saja tidak menyenangkan VOC. Oleh karenanya, VOC selalu berusaha untuk menguasai Kesultanan Banten.
Usaha VOC ini berhasil dengan jalan membujuk Sultan Haji sehingga berselisih paham dengan ayahnya Sultan Agung Tirtayasa.
Dalam perlawanan menghadapi ayahnya sendiri, Sultan Haji meminta bantuan VOC dan sebagai imbalannya Sultan Haji akan menyerahkan penguasaan atas daerah Lampung kepada VOC.
Akhirnya, pada tanggal 7 April 1682 Sultan Agung Tirtayasa disingkirkan dan Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten.
Dari perundingan-perundingan antara VOC dengan Sultan Haji menghasilkan sebuah piagam dari Sultan Haji tertanggal 27 Agustus 1682.
Dalam piagam itu isinya antara lain menyebutkan bahwa sejak saat itu pengawasan perdagangan rempah-rempah atas daerah Lampung diserahkan oleh Sultan Banten kepada VOC.
Penyerahan pengawasan tersebut sekaligus memperoleh monopoli perdagangan di daerah Lampung.
Pada tanggal 29 Agustus 1682 iring-iringan armada VOC dan Banten membuang sauh di Tanjung Tiram.
Armada ini dipimpin oleh Vander Schuur dengan membawa surat mandat dari Sultan Haji dan ia mewakili Sultan Banten.
Ekspedisi Vander Schuur yang pertama ini ternyata tidak berhasil dan ia tidak mendapatkan lada yang dicari-carinya.
Agaknya perdagangan langsung antara VOC dengan Lampung yang dirintisnya mengalami kegagalan.
Hal tersebut karena tidak semua penguasa di Lampung langsung tunduk begitu saja kepada kekuasaan Sultan Haji yang bersekutu dengan kompeni.
Banyak pula penguasa di Lampung yang masih mengakui Sultan Agung Tirtayasa sebagai Sultan Banten dan menganggap kompeni tetap sebagai musuh.
Sementara itu, timbul keragu-raguan dari VOC apakah benar Lampung berada di bawah kekuasaan Sultan Banten, kemudian baru diketahui bahwa penguasaan Banten atas Lampung tidak mutlak.
Penempatan wakil-wakil Sultan Banten di Lampung yang disebut "Jenang" atau kadang-kadang disebut Gubernur hanyalah dalam mengurus kepentingan perdagangan hasil bumi (lada).
Sedangkan, penguasa-penguasa Lampung asli yang terpencar-pencar pada tiap-tiap desa atau kota yang disebut "Adipati".
Secara hirarkis, kedudukan Adipati itu tidak berada di bawah koordinasi penguasaan Jenang atau Gubernur.
Jadi, penguasaan Sultan Banten atas Lampung adalah dalam hal garis pantai saja dalam rangka menguasai monopoli arus keluarnya hasil-hasil bumi, terutama lada.
Dengan demikian jelas hubungan Banten-Lampung dalam hubungan saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Selanjutnya, pada masa Raffles berkuasa pada tahun 1811, ia menduduki daerah Semangka.
Raffles tidak mau melepaskan daerah Lampung kepada Belanda karena ia beranggapan bahwa Lampung bukanlah jajahan Belanda.
Setelah Raffles meninggalkan Lampung, baru kemudian tahun 1829 ditunjuk Residen Belanda untuk Lampung.
Dalam pada itu, sejak tahun 1817 posisi Radin Inten semakin kuat, terutama di daerah Lampung.
Oleh karenanya, Belanda merasa kuatir dan mengirimkan ekspedisi kecil dipimpin oleh Asisten Residen Krusemen yang menghasilkan beberapa persetujuan.
Dalam persetujuan itu, Radin Inten memperoleh bantuan keuangan dari Belanda sebesar f. 1.200 setahun.
Lalu, kedua saudara Radin Inten masing-masing akan memperoleh bantuan pula sebesar f. 600 tiap tahun.
Persetujuan selanjutnya, Radin Inten tidak diperkenankan meluaskan lagi wilayah selain dari desa-desa yang sampai saat itu berada di bawah pengaruhnya.
Walaupun sudah dilakukan perundingan, akan tetapi persetujuan itu tidak pernah dipatuhi oleh Radin Inten dan ia tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Pada tahun 1825, Belanda memerintahkan Leliever untuk menangkap Radin Inten.
Namun, Radin Inten justru lebih dulu menyerbu benteng Belanda dan membunuh Liliever dan anak buahnya.
Karena pada saat itu Belanda sedang menghadapi perang Diponegoro (1825 - 1830), maka Belanda tidak dapat berbuat apa-apa terhadap peristiwa tersebut.
Tahun 1825, Radin Inten meninggal dunia dan digantikan oleh Putranya Radin Imba Kusuma.
Setelah Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830 Belanda menyerbu Radin Imba Kusuma di daerah Semangka.
Kemudian, pada tahun 1833 Belanda menyerbu benteng Radin Imba Kusuma, tetapi tidak berhasil mendudukinya.
Baru pada tahun 1834 setelah Asisten Residen diganti oleh perwira militer Belanda dan dengan kekuasaan penuh, maka Benteng Radin Imba Kusuma berhasil dikuasai.
Radin Imba Kusuma menyingkir ke daerah Lingga, namun penduduk daerah Lingga ini menangkapnya dan menyerahkan kepada Belanda. Radin Imba Kusuma kemudian dibuang ke Pulau Timor.
Perlawanan rakyat yang digerakkan oleh putra Radin Imba Kusuma sendiri bernama Radin Inten II tetap berlangsung terus.
Sampai akhirnya Radin Inten II ini ditangkap dan dibunuh oleh tentara-tentara Belanda yang khusus didatangkan dari Batavia.
Sejak itu, Belanda mulai leluasa menancapkan kekuasaannya di daerah Lampung. Perkebunan mulai dikembangkan, yaitu penanaman kaitsyuk, tembakau, kopi, karet dan kelapa sawit.
Untuk kepentingan-kepentingan pengangkutan hasil-hasil perkebunan itu, tahun 1913 Belanda membangun jalan kereta api dari Telukbetung menuju Palembang.
Hingga menjelang Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 dan periode perjuangan fisik setelah itu, putra Lampung tidak ketinggalan ikut terlibat dan merasakan betapa pahitnya perjuangan melawan penindasan penjajah yang silih berganti.
Sampai akhirnya, sebagai mana dikemukakan di awal tulisan ini, pada tahun 1964 Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I Provinsi Lampung. (*)
No comments:
Write commentSiapapun boleh berkomentar, tetapi dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Berkomentarlah dengan nama yang jelas dan bukan spam agar tidak dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.