-->

Pengertian Franchise atau Waralaba serta Perkembangannya di Indonesia

 
Di era serba maju sekarang tidak heran lagi orang-orang membuka bisnisnya dengan instan. Waralaba atau franchise menjadi salah satu pilihan yang tepat dalam memperluas jaringan bisnis dengan cepat.



IPHEDIA.com - Saat ini, bisnis franchise atau waralaba, terutama makanan berkembang dengan cepat di Indonesia. 

Bisnis waralaba makanan ini mulai dari yang dalam skala kecil, baik modal, tempat/lokasi usaha/jasa maupun stok hingga waralaba yang modalnya lumayan besar.

Sejumlah faktor yang mendorong pertumbuhannya adalah ciri-ciri dari franchise itu sendiri dan meningkatnya daya beli.

Kemudian, tersedianya sumber daya dengan keahlian yang dibutuhkan, return on investment yang tinggi serta faktor internal, seperti motivasi, kepribadian yang terbuka serta perubahan gaya hidup.

Di era serba maju sekarang tidak heran lagi orang-orang membuka bisnisnya dengan instan. 

Waralaba atau franchise menjadi salah satu pilihan yang tepat dalam memperluas jaringan bisnis dengan cepat. 

Karena franchise sendiri awal usaha dan kelanjutan usaha telah disediakan oleh franchisor atau pemilik waralaba.

Franchise dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu franchise asing dan franchise lokal. 

Beberapa franchise asing yang ranchisornya berasal dari luar negeri, antara lain KFC, Pizza Hut, dan McDonald. 

Sementara, franchise lokal yang franchisornya berasal dari dalam negeri, seperti Solaria, Panties Pizza, EsTeler77, Geprek Bensu dan banyak lagi lainnya.

Pengertian Franchise atau Waralaba

International Franchise Association (IFA) yang berkedudukan di Amerika mendefinisikan franchise sebagai hubungan kontraktual antara franchisor dengan franchisee.

Dalam hubungan ini franchisor berkewajiban menjaga kepentingan secara kontinyu pada bidang usaha yang dijalankan oleh franchisee.

Pada awalnya, istilah franchise tidak dikenal dalam kepustakaan hukum Indonesia. 

Hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise sejak awal tidak terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. 

Di Tanah Air, franchise yang sudah berkembang tersebut coba di-Indonesia-kan dengan istilah “waralaba”.

Kata “waralaba” pertama kali diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) sebagai padanan kata franchise. 

Dalam kontek bisnis, franchise berarti kebebasan untuk menjalankan usaha secara mandiri di wilayah tertentu.

Waralaba berasal dari kata “wara” berarti lebih atau istimewa dan “laba” berarti untung. Jadi, waralaba berarti usaha yang memberikan keuntungan lebih/istimewa.

Secara hukum, waralaba berarti persetujuan legal atas pemberian hak atas keistimewaan untuk memasarkan suatu produk/jasa.

Produk/jasa tersebut dari pemilik (pewaralaba) kepada pihak lain (terwaralaba) yang diatur dalam suatu turan permainan tertentu.

Selain itu secara khusus pengaturan mengenai waralaba di Indonesia dapat kita temukan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba. 

Aturan tersebut juga menurut Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 07/M-DAG/PER/2/2013 Tentang Pengembangan Kemitraan Dalam Waralaba Untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman:

“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.

Waralaba tidak mengandung unsur-unsur sebagaimana yang diberikan lisensi kepada pemasarnya.

Hanya saja, dalam pengertian waralaba menekankan pada pemberian hak untuk menjual produk, berupa barang atau jasa dengan memanfaatkan merek dagang franchisor (pemberi waralaba).

Dalam hal ini, pihak franchisee (penerima waralaba) berkewajiban untuk mengikuti metode dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba.

Prosedur itu dalam kaitannya dengan pemberian izin dan kewajiban pemenuhan standar dari pemberi waralaba.

Pemberi waralaba akan memberikan bantuan pemasaran, promosi, maupun bantuan teknis lainnya agar penerima waralaba dapat menjalankan usahanya dengan baik.


Pemberian Merk Dagang

Pada kebanyakan sistem franchise, sesuatu yang dimiliki oleh franchisor yang kemudian diwaralabakan, meliputi merek dagang atau nama dagang dan sebuah format bisnis

Merek dagang dan format bisnis itu, yakni sebuah sistem yang dicatat dalam manual operasi yang berisi elemen-elemen yang bersifat rahasia (confidential).

Kemudian, formula, resep rahasia, spesifikasi, desain gambar dan dokumen operasi, hak cipta dan hak paten.

Iya, dalam kerjasama franchise ini memang tidak akan terlepas dari merek dagang atau logo serta desain dari perusahaan yang bersangkutan. 

Merek dagang, logo dan desain perusahaan itu merupakan identitas dan ciri khas dari franchise tersebut.

Franchisor akan memberikan hak penggunaan logo/desain/merek perusahaan kepada franchisee, sehingga identitas serta penampilan bisnis franchisee akan sama dengan bisnis milik franchisor.

Waralaba dalam perspektif Hak Kekayaan Intelektual adalah suatu pemberian lisensi atau hak untuk memanfaatkan.

Lalu, menggunakan secara bersama-sama dua jenis Hak Kekayaan Intelektual tertentu, yaitu Merek (termasuk merek dagang, merek jasa dan indikasi asal) dan Rahasia Dagang.

Hak pemanfaatan dan penggunaan kedua jenis Hak Kekayaan Intelektual tersebut tidak dapat dipisahkan. 

Dalam hal Hak Kekayaan Intelektual yang diberikan hanyalah hak untuk menjual atau mendistribusikan produk barang atau jasa dengan menggunakan merek tertentu saja.

Dalam bisnis ini, penjual tidak disertai dengan kewenangan dan atau tindakan untuk melakukan suatu hal tertentu.

Pengecualian itu, baik dalam bentuk pengelolaan atau pengolahan lebih lanjut yang memberikan tambahan nilai pada produk barang yang dijual tersebut. (sr/ip)

Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Berkomentarlah dengan nama yang jelas dan bukan spam agar tidak dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top