Depati Amir, Pahlawan Nasional Asal Kepulauan Bangka Belitung

 
Istilah depati sendiri mengacu pada jabatan tradisional setara kepala sebuah atau beberapa desa. Depati adalah gelar yang diberikan Sultan Palembang kepada para elite di Bangka, termasuk daerah lainnya di Sumatera Bagian Selatan waktu itu.

IPHEDIA.com - Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) pertama kalinya menyumbangkan seorang pahlawan nasional. Ini terjadi setelah Presiden Joko Widodo menetapkan enam nama baru pada tahun 2019. Salah satu di antaranya tokoh asal Pulau Bangka, Depati Amir.

Depati Amir secara kultural sebenarnya telah diakui sebagai pahlawan bagi masyarakat Bangka Belitung. Namanya diabadikan sebagai nama bandar udara di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel).

Depati Amir lahir pada tahun 1805. Ia putera sulung Depati Bahrin, pemimpin lokal dengan wilayah kekuasaan Kampung Mendara dan Mentandai.

Istilah depati sendiri mengacu pada jabatan tradisional setara kepala sebuah atau beberapa desa. Depati adalah gelar yang diberikan Sultan Palembang kepada para elite di Bangka, termasuk daerah lainnya di Sumatera Bagian Selatan waktu itu.

Meski menjadi anak seorang pejabat, tetapi Depati Amir tidak mau tinggal diam sehingga memimpin masyarakat Bangka untuk melawan penjajahan Belanda.

Perlawanan Depati Amir dan masyarakat Bangka menyebabkan Belanda mengumumkan perang dan menyatakan bangka sebagai wilayah darurat militer (staat van beleg).

Ayah Depati Amir dan Depati Hamzah memimpin perlawanan besar masyarakat Bangka. Di bawah kepemimpinan Depati Bahrin, masyarakat Bangka berhasil memenggal kepala Residen Belanda MAP Smissaert pada 1819.

Pada 1830, Amir diangkat sebagai depati menggantikan Barin, ayahnya. Pengangkatan itu, menurut Erwiza, bukanlah posisi yang didamba Amir. Dia lalu minta berhenti dan memilih jadi orang biasa yang bebas.

Meski demikian, Amir tetap memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat Bangka. Ketokohan Amir ini menyebabkan pemerintah kolonial Belanda kerap menaruh curiga.

Perlawanan Amir kepada Belanda beranjak dari persoalan pribadi. Ini menyangkut urusan kocek dan kepentingan keluarga. Kehadiran Belanda yang mengeruk timah di wilayah kekuasaan ayahnya menyulut bara api bagi Amir sekeluarga.

Amir kecewa ketika tuan kongsi (juragan dagang) Belanda di Sungailiat enggan memenuhi tuntutan Amir sebesar 150 gulden, yakni utang pemerintah Belanda kepada ayahnya.

Menurut A.A. Bakar dalam Barin, Amir, Tikal: Pahlawan Nasional Yang Tak Boleh Dilupakan, utang Belanda tersebut merupakan sisa harga timah yang dijual oleh Barin kepada tuan kongsi namun belum dilunasi. Kejadian ini bersamaan waktunya ketika parit-parit timah swasta masih banyak. Parit milik Barin adalah yang terbesar di daerah Merawang.

Permintaan Amir dimentahkan pemerintah Belanda. Amir mengancam akan menyerang dan menghancurkan Sungailiat dan Merawang. Amir bahkan menambah tuntutannya menjadi 600 gulden setahun dengan alasan ia berhak mendapatkannya selaku putra depati.

Residen Belanda di Bangka, F. van Olden, menilai sikap Amir hanya untuk memprovokasi situasi di kawasan itu. Sejumlah pejabat penting dikerahkan untuk meringkus Amir. Mereka antara lain, Kepala Polisi Letnan Campbell, kepala kongsi Belanda di Pangkal Pinang De Bley, dan Kepala Jaksa Demang Arifin. Semuanya tak mampu menangkap Amir. 

Tak dinyana, rakyat Bangka mendukung Amir. Banyak dari penduduk kampung Bangka yang mengalami tekanan akibat kerja rodi membangun infratruktur untuk kepentingan birokrasi kolonial.

Selain warga Melayu Bangka, kuli-kuli parit timah asal Tionghoa ikut berjuang bersama Amir. Lewat jaringan ini, penyelundupan senjata lewat Singapura yang dibarter dengan timah dapat diperoleh pasukan Amir untuk mempersenjatai diri.

Sejumlah demang (pemimpin lokal) dan batin (penghulu adat) berpegaruh juga jadi sekutu Amir. Demang Suramenggala dan Terentang membantu dalam penyediaan senjata, lembing, dan keris. Haji Abubakar, pemuka masyarakat, secara terang-terangan memihak Amir.

Urusan tempur, Amir dibantu para panglima seperti Budjang Singkip, Kai Sam, Bangul, Tata, Darip, dan Dahan. Mereka secara tegas melawan beberapa penguasa lokal yang memihak Belanda.

Anak-anak buah Amir ini pada 19 Desember 1848 berhasil menangkap putra Batin Mendo Timur di kampung Lukok. Kampung Lukok ikut dibakar. Perlawanan Amir lantas meluas ke berbagai wilayah di sepanjang pantai timur Bangka: Terentang, Ampang, Toboali, Jebus, Sungailiat.

Amir dan pasukannya terus bertahan dari buruan dengan menggalakkan pertempuran kecil satu demi satu. Pemberontakan Amir menjadi isu yang cukup serius di Hindia Belanda seperti dicatat pejabat kolonial dalam Koloniaal Verslaag tahun 1851 dan 1852.

Belanda yang kewalahan sampai harus mendatangkan pasukan tambahan dari Palembang dan Batavia. Banyak tentara Belanda yang menemui ajal lantaran jebakan-jebakan tak terduga, seperti termakan racun. Selain itu, pasukan Amir diuntungkan dengan mewabahnya penyakit disentri yang saat itu disebut “Demam Bangka” di kalangan tentara Belanda.   

Saat itu, Depati Amir dinyatakan sebagai orang yang sangat berbahaya dan gerak-geriknya selalu dicurigai (Der Depatti Amir ist ein gefahrlicher mensch Von Verdactigem aeussern).

Perlawanan Amir baru dapat ditumpas sesudah dilakukan taktik menohok dari belakang. Belanda menyuap uang sebesar 1000 dollar Spanyol kepada 7 orang panglima dan 36 pasukan. Mereka terpaksa menyerah lantaran kekurangan logistik dan kelelahan fisik dalam menjalankan perang gerilya.

Pada 7 Januari 1851, Depati Amir dan adiknya yang bernama Depati Hamzah berhasil ditangkap Belanda dalam kondisi sakit di distrik Sungaiselan.

Depati Amir dan adiknya yang bernama Depati Hamzah ditangkap Belanda pada 1851 dan diasingkan ke Kampung Airmata, Kupang yang kini berada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Pada 28 Februari 1851, Depati Amir dan Depati Hamzah diberangkatkan ke Kupang dengan kapal uap "Onrust". Ia diasingkan ke Kampung Airmata, Kupang, yang kini berada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Setelah pengasingan Amir, Belanda semakin leluasa menjarah timah di bumi Bangka. Ditumpasnya perlawanan Amir mempertegas pembentukan dan pengawasan wijken (kampung) di Bangka dan Belitung.

Sistem perkampungan (Wijkenstelsel) demikian, kata sejarawan Universitas Indonesia, Servulus Erlan de Robert melokalisasi wilayah berdasarkan etnis untuk memudahkan pengawasan dan meminimalisasi konflik sosial di kawasan tertentu sebagaimana telah dijalankan sejak masa VOC.

Selama dalam pengasingan, kedua putera Bangka tersebut menyebarkan agama Islam di Pulau Timor. Kemudian, keduanya dipindahkan ke Bonipoi dan mereka membangun mesjid diberi nama Al-Ikhlas.

Selama di pengasingan, dia tetap berjuang sebagai penasihat perang bagi raja-raja Timor yang juga sedang berjuang melawan penguasaan kolonial. Pada 28 September 1869, Amir wafat dan dimakamkan di Pemakaman Muslim Batukadera, Kupang. (as/ip)
Buka Komentar
Tutup Komentar
No comments:
Write comment

Siapapun boleh berkomentar, tetapi dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Berkomentarlah dengan nama yang jelas dan bukan spam agar tidak dihapus. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu komentator seperti yang diatur dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun perundang-undangan yang berlaku.

Back to Top